Peristiwa Ashhabul-Ukhdud
Setelah
melukiskan suasana ini dan dibukanya lapangan ini, datanglah isyarat
yang menunjuk ke-pada peristiwa itu dengan beberapa sentuhannya,
وَمَا
نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَن يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
﴿٨﴾ الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ
كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ ﴿٩﴾
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang
yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika
mereka duduk di sekitarnya. Sedangkan, mereka tidak menyiksa orang-orang
mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada
Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit
dan bumi. Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. A1-Buruuj: 8-9).
Tidak ada dosa dan kesalahan yang dilakukan kaum mukminin terhadap
mereka. Itulah kesalahan orang-orang mukmin, yaitu beriman kepada Allah
Yang Mahaperkasa, Yang berkuasa melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya,
Yang Maha Terpuji, Yang berhak mendapatkan pujian dalam semua keadaan,
dan memang Dia sudah Maha Terpuji meskipun orang-orang jahil tidak
memuji-Nya! Dialah yang layak untuk diimani dan diibadahi. Hanya Dia
sajalah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Dia menyaksikan segala
sesuatu. Baik yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang terjadi maupun
yang akan terjadi.
Kemudian, Dia pulalah Yang menyaksikan urusan kaum mukminin dengan ashhabul ukhdud ini
merupakan suatu sentuhan yang menenangkan hati orang-orang yang beriman
dan menakut-nakuti orang-orang yang zhalim dan sombong. Maka, Allah
selalu menyaksikan, dan cukuplah Allah sebagai yang menyaksikan.
Selesailah
riwayat peristiwa itu di dalam ayat-ayat yang pendek ini. Peristiwa
yang memenuhi hati dengan rasa kebencian yang dalam terhadap tindakan
itu beserta para pelakunya. Hal itu sebagaimana ia juga menyimpan
harapan di balik peristiwa ini beserta timbangannya di sisi Allah, dan
keberhakan pelakunya terhadap kemurkaan dan kebencian Allah. Maka, ini
adalah urusan yang tidak berhenti pada batas ini saja. Akan tetapi, di
belakangnya akan ada hisab dari Allah dengan segala akibatnya.
Riwayat
tentang peristiwa ini sudah selesai dan telah memenuhi hati dengan
perasaan takut. Takut yang ditimbulkan oleh keimanan, yang mengungguli
fitnah itu sendiri, dan aqidah yang mengalahkan keinginan hidup duniawi.
Juga oleh kemerdekaan tulen yang membebaskannya dari tawanan fisik dan
daya tarik duniawi. Karena ada orang-orang mukmin yang memiliki
kemampuan untuk menyelamatkan kehidupannya di dalam menghadapi hal-hal
yang merusak imannya. Tetapi, berapa banyak mereka yang merugikan diri
sendiri dalam kehidupan dunia sebelum di akhirat nanti? Betapa banyak
manusia mengalami kerugian? Berapa banyak mereka yang merugi ketika
mereka memerangi makna yang besar ini? Yaitu, makna ketidak-berartian
kehidupan tanpa aqidah, dan buruknya kehidupan tanpa kemerdekaan, serta
hinanya kehidupan ketika ruh mereka dikuasai oleh para diktator setelah
fisik mereka dikuasainya!
Sungguh ini adalah makna yang sangat
mulia dan agung. Inilah keberuntungan yang mereka peroleh setelah mereka
lepas dari kehidupan duniawi. Inilah keberuntungan yang mereka peroleh
ketika mereka disentuh api yang membakar tubuhnya. Tetapi, mereka
berhasil menyelamatkan dan mendapatkan makna yang agung dan mulia ini
yang dibersihkan oleh pembakaran api itu. Sesudah itu, mereka akan
dihisab di sisi Tuhannya, dan musuh-musuh mereka yang zhalim dan
diktator itu pun akan dihisab. Dengan demikian, diakhirilah konteks ini.
Kemudian mereka terus saja berjalan dalam kesesatannya tanpa menyesali tindakan-tindakannya. Di sana akan diperoleh pembalasan;
إِنَّ
الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا
فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ ﴿١٠﴾ إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيرُ ﴿١١﴾
“Sesungguhnya, orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan wanita kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab
Jahannam dan azab (neraka) yang membakar. Sesungguhnya, orang-orang
yang beriman dan melakukan amal-amal yang saleh, bagi mereka surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai. Itulah keberuntungan yang besar. “ (QS. Al-Buruuj: 10-11)
Sesungguhnya,
peristiwa yang terjadi di bumi dalam kehidupan dunia ini, bukanlah
akhir peristiwa dan akhir perjalanan, karena akibatnya akan diterima di
sana, di akhirat nanti, dan akan diperoleh pembalasan yang setimpal
dengan perbuatannya. Juga akan ada pemisahan antara orang-orang mukmin
dan orang-orang yang zhalim. Ini adalah suatu ketetapan yang sudah
ditegaskan oleh Allah dan pasti akan terjadi, sebagaimana dijelaskan
dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya, orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan wanita…. “
Dalam nash ini disebutkan kata sifat al-hariiq ‘yang
membakar’ yang merupakan pemahaman terhadap Jahanam. Akan tetapi,
disebutkannya kata ini adalah untuk menjadi perimbangan bagi pembakaran
di dalam parit dalam peristiwa yang mereka lakukan dahulu. Namun,
bagaimana perbandingan antara pembakaran ini dan pembakaran itu?
Bagaimana perbandingan tentang kerasnya dan lama masanya?
Pembakaran
dunia yang dinyalakan oleh manusia dengan api dan pembakaran akhirat
dengan api yang dinyalakan oleh Sang Maha Pencipta! Pembakaran dunia
hanya sementara waktu dan segera berakhir, sedangkan pembakaran akhirat
bersifat kekal dan tidak ada yang tahu masanya kecuali Allah.
Keterbakaran orang-orang mukmin di dunia itu disertai dengan keridhaan
Allah kepada mereka dan dimenangkannya nilai kemanusiaan yang mulia,
sedangkan keterbakaran di akhirat bagi kaum kafir disertai dengan
kemurkaan Allah, kerendahan dan kehinaan.
Keridhaan dan kenikmatan dari Allah kepada orang-orang mukmin dan beramal saleh di surga itu tercermin dalam firman-Nya,
‘Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan menegakkan amal-amal yang saleh, bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai….”
Inilah keselamatan yang sebenarnya,“…Itulah keberuntungan yang besar.”
Disebutkannya dengan terus terang azab yang keras di sini selaras dengan peristiwa yang menampakkan Al-fauz adalah
keselamatan dan keberuntungan. Keselamatan dari azab akhirat saja sudah
merupakan keberuntungan. Nah, apalagi bila mendapatkan surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai?
Dengan bagian akhir ini,
mantaplah urusan itu secara proporsional, yaitu kesudahan yang
sebenarnya terhadap sikap dan tindakan manusia. Maka, apa saja yang
terjadi darinya di dalam kehidupan dunia ini adalah bagian darinya, dan
akan mendapat imbalan dengan lengkap dan sempurna. Ini adalah hakikat
yang menjadi sasaran komentar pertama terhadap peristiwa itu. Tujuannya
untuk memantapkan hati golongan minoritas mukmin di Mekah, dan
memantapkan hati setiap kelompok orang beriman yang menghadapi fitnah
pada saat kapan pun. Kemudian dilanjutkanlah komentar-komentar
berikutnya.
إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٌ ﴿١٢﴾
“Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar keras.” (QS. Al-Buruuj: 12)
Kekerasan
kecil dan hina yang oleh pelakunya dan semua manusia di dunia dianggap
besar dan keras. Maka, siksaan yang benar-benar keras adalah siksaan
Tuhan Yang Maha Perkasa, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Bukan
siksaan makhluk-makhluk lemah dan kerdil yang berkuasa atas sejengkal
wilayah di bumi dan dalam waktu yang terbatas.
Kalimat ini menampakkan hubungan antara lawan bicara – yakni Rasulullah SAW – dan yang berfirman, yaitu Allah Azza wajalla, dalam firman-Nya, “Sesungguhnya azab Tuhanmu….” Tuhanmu yang engkau menisbatkan diri kepada Rububiyah-Nya, dan
yang menjadi sandaranmu untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Hubungan
ini memiliki nilai tersendiri di saat orang-orang yang durhaka menyiksa
orang-orang yang beriman.
إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ ﴿١٣﴾
“Sesungguhnya, Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya kembali.” (QS. Al-Buruuj: 13)
Memulai
dan mengembalikan, meskipun maknanya mengarah kepada penciptaan pertama
dan terakhir, namun kedua peristiwa ini selalu terjadi setiap saat
pada waktu malam atau siang, karena setiap saat terjadi permulaan dan
penciptaan serta terjadi kebinasaan dan kematian. Sedangkan, alam
semesta senantiasa berada dalam kebaruan yang terus menerus dan terjadi
kematian yang terus-menerus. Di bawah bayang-bayang gerakan yang
terus-menerus dan menyeluruh yang berupa permulaan dan pengembalian
(kematian) ini, tampaklah peristiwa pembakaran manusia beriman di dalam
parit bersama akibat-akibat lahiriyahnya itu sebagai suatu masalah yang
telah berlalu dalam realitas dan hakikat. Maka, ia adalah permulaan
yang akan berulang, atau pengulangan terhadap permulaan, dalam gerakan
yang terus beredar dan berputar ini.
وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ ﴿١٤﴾
‘Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. “ (QS. Al-Buruuj: 14)
Pengampunan ini berkaitan dengan firman-Nya sebelumnya, “Kemudian mereka tidak bertobat “Maka
pengampunan itu termasuk rahmat dan karunia yang melimpah yang tak
terbatas dan tak terikat. Pengampunan merupakan pintu terbuka yang tidak
pernah tertutup bagi orang yang kembali bertobat, betapapun besarnya
dosa dan kemaksiatannya.
Sedangkan, al-Wudd
”kepengasihan”, ia berhubungan dengan sikap orang-orang mukmin yang
lebih memilih Tuhannya (keridhaan Tuhannya) dari pada segala sesuatu
yang lain. Al-wudd ini merupakan pemberian kesenangan yang
halus, manis, dan mulia, ketika Allah mengangkat derajat
hamba-hamba-Nya yang lebih mengutamakan keridhaan-Nya dan
mencintai-Nya. Maka, sangat sulit pena melukiskannya apabila bukan
karena karunia dan kemurahan Allah. Yaitu, derajat kedekatan antara
Tuhan dan hamba, dan derajat kasih sayang dari Allah kepada para kekasih
dan orang-orang yang dicintai-Nya yang didekatkan kepada-Nya.
Kalau
begitu, apakah arti kehidupan yang mereka korbankan, yang seandainya
tidak mereka korbankan, maka kehidupan itu pun pasti berlalu? Apakah
arti azab yang mereka derita itu, sedangkan azab itu hanya terbatas
waktunya? Apa artinya itu dibanding kan dengan tetesan kasih sayang yang
manis ini? Juga apa artinya jika dibandingkan dengan kilatan cahaya
kegembiraan yang penuh kasih sayang?
Sesungguhnya, hamba-hamba
dari budak-budak bumi ini adalah manusia yang notabene adalah
hamba-hamba Allah Yang Maha Esa. Mereka mencampakkan diri mereka ke
dalam kebinasaan karena termotivasi oleh kata-kata yang keluar dari
mulutnya. Atau, karena mengharapkan kilasan kerelaan yang tampak di
wajahnya, padahal yang dipatuhi itu adalah seorang hamba dan mereka yang
patuh itu pun adalah hamba juga. Maka, bagaimana dengan hamba-hamba
Allah, yang dihibur oleh Allah dengan kasih sayang-Nya yang mulia dan
agung.
ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ ﴿١٥﴾
“Yang mempunyai Arsy, lagi Mahamulia.” (QS. Al-Buruuj: 15)
Dia Yang Mahaluhur, Yang Maha Melindungi, dan Yang Maha Pengasih.
Dengan
demikian, terasa kecillah kehidupan ini, terasa ringanlah penderitaan
itu, dan terasa enteng azab itu. Juga terasa hina segala yang dianggap
mahal dan hebat, dibanding dengan cahaya keridhaan yang diberikan oleh
Tuhan Yang Maha Pelindung dan Maha Pengasih, Yang memiliki Arasy serta
Mahamulia.
فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ ﴿١٦﴾
“Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Buruuj: 16)
Ini
adalah sifat Allah yang banyak realisasinya, yang terus beroperasi.
Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Dia memiliki kehendak yang
mutlak, memilih apa yang dikehendaki-Nya, dan berbuat apa yang
dikehendaki dan dipilih-Nya, selamanya dan abadi, karma hal itu
merupakan sifat Allah Yang Mahasuci.
Sekali tempo, Dia menghendaki
kaum mukminin mendapat kemenangan di muka bumi ini karena suatu hikmah
yang dikehendaki-Nya. Pada kali lain, Dia menghendaki iman mendapat
kemenangan di dalam menghadapi fitnah, tetapi jasad para pelakunya
hancur binasa. Hal seperti itu pun karena suatu hikmah yang
dikehendaki-Nya pula.
Suatu kali, Dia menghendaki menghukum para
penguasa yang sombong itu di muka bumi. Namun, suatu kali dibiarkan-Nya
mereka untuk dihukum-Nya pada hari yang dijanjikan. Semua itu karena
-suatu hikmah yang akan terwujud di sini dan di sana nanti, dalam ukuran
yang telah ditentukan-Nya.
Inilah satu sisi dari perbuatan-Nya
terhadap apa yang dikehendaki-Nya, yang sesuai dengan peristiwa yang
terjadi. Juga sesuai dengan apa yang akan disebutkan berikut ini
mengenai Fir’aun dan kaum Tsamud. Namun, tetaplah kehendak dan kekuasaan
yang mutlak di belakang peristiwa-peristiwa ini dan di belakang
kehidupan ini, sedangkan alam semesta melakukan aktivitasnya dalam dunia
wujud ini.
Dia Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Di
sana sebuah contoh dari kemahakuasaan-Nya berbuat terhadap apa yang
dikehendaki-Nya itu,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْجُنُودِ ﴿١٧﴾ فِرْعَوْنَ وَثَمُودَ ﴿١٨﴾
“Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang, (yaitu kaum) Fir’aun dan (kaum) Tsamud?” (QS. Al-Buruuj: 17-18)
Ayat
ini mengisyaratkan kepada dua buah kisah panjang, yang disebutkan
sepintas kilas di sini karma sudah dimaklumi oleh orang-orang yang
diajak bicara tentang urusan mereka, sesudah disebutkannya panjang
lebar di dalam Al-Qur’anul-Karim. Disebutkannya mereka (para penentang)
dengan al-junud ‘tentara’ itu menunjukkan kepada
kekuatan dan persiapan mereka. Sudahkah datang kepadamu berita mereka?
Dan, bagaimana yang diperbuat Tuhanmu terhadap mereka sesuai dengan
kehendak-Nya?
Ini adalah dua berita yang berbeda karakter dan
akibatnya. Adapun berita tentang Fir’aun, maka Allah telah
membinasakannya beserta tentaranya. Dia menyelamatkan Bani Israel, dan
menempatkan mereka di muka bumi sementara waktu, untuk merealisasikan
pada mereka suatu ketentuan dari ketentuan-Nya dan suatu kehendak dari
kehendak-Nya.
Sedangkan berita kaum Tsamud, maka Allah telah
membinasakan mereka karena membunuh anak unta bapak mereka, Nabi Shalih.
Diselamatkan-Nya Nabi Shalih dan segolongan minoritas yang ikut
bersamanya, yang sesudah peristiwa itu mereka tidak lagi memiliki raja
dan kekuasaan. Jadi, mereka hanya semata-mata diselamatkan dari kaum
yang fasik.
Ini adalah dua buah contoh tentang berlakunya iradah
Allah dan berjalannya kehendak Nya. Ini juga merupakan dua buah gambaran
dari gambaran-gambaran dakwah kepada agama Allah dengan segala
konsekuensinya, di samping terjadinya kemungkinan ketiga seperti
peristiwa itu. Semuanya ditampilkan oleh Al-Qur’an kepada golongan
minoritas mukmin di Mekah, dan kepada semua generasi orang-orang yang
beriman.
Penutup
Pada bagian penutup
datanglah dua buah kesan yang kuat dan pasti, yang masing-masing berisi
ketetapan, kata kepastian, dan hukum terakhir,
بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي تَكْذِيبٍ ﴿١٩﴾ وَاللَّهُ مِن وَرَائِهِم مُّحِيطٌ ﴿٢٠﴾
Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan. Padahal, Allah mengepung mereka dari belakang mereka.” (QS. Al-Buruuj: 19-20)
Urusan
orang-orang kafir dan hakikat keadaan mereka adalah bahwa mereka selalu
mendustakan. Pada petang hari mendustakan dan pada pagi hari juga
mendustakan. ‘Padahal, Allah mengepung mereka dari belakang mereka.” Sedangkan,
mereka lalai terhadap pengepungan Allah dengan kekuasaan dan
pengetahuan-Nya. Maka, mereka lebih lemah daripada tikus yang terkepung
banjir yang merata.
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ ﴿٢١﴾ فِي لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ ﴿٢٢﴾
“Bahkan, yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauhul Mahfuzh.” (QS. Al-Buruuj: 21-22)
Al-Qur’an
yang mulia, luhur, dan mengakar. Ada kah sesuatu yang lebih mulia,
lebih luhur, dan lebih mengakar daripada firman Allah Yang Mahaagung?
Al-Qur’an itu tersimpan di dalam Lauhul Mahfuz. Jadi, yang kita tidak mengetahui tabiatnya karena ia termasuk urusan gaib yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya.
Kita
hanya mengambil manfaat dari bayang-bayang yang diberikan oleh ungkapan
kalimat itu, bisa saja lenyap, tetapi perkataan Al-Qur’an senantiasa
terjaga dan terpelihara dan kesan yang ditinggalkannya di dalam hati,
yaitu bahwa Al-Qur’an itu berada dalam perlindungan yang kokoh,
perkataannya menjadi rujukan terakhir, Al-Qur’an telah mengucapkan
perkataannya tentang peristiwa parit dan tentang hakikat yang ada di
belakangnya dalam semua urusan yang terjadi. Semua perkataan Al-Qur’an
merupakan perkataan pamungkas. Jadi, memilih apa yang dikehendaki-Nya,
dan berbuat apa yang dikehendaki dan dipilih-Nya, selamanya dan abadi,
karena hal itu merupakan sifat Allah Yang Mahasuci.
Sekali tempo,
Dia menghendaki kaum mukminin mendapat kemenangan di muka bumi ini
karena suatu hikmah yang dikehendaki-Nya. Pada kali lain, Dia
menghendaki iman mendapat kemenangan di dalam menghadapi fitnah, tetapi
jasad para pelakunya hancur binasa. Hal seperti itu pun karena suatu
hikmah yang dikehendaki-Nya pula.
Suatu kali, Dia menghendaki
menghukum para penguasa yang sombong itu di muka bumi. Namun, suatu kali
dibiarkan-Nya mereka untuk dihukumnya pada hari yang dijanjikan. Semua
itu karena suatu hikmah yang akan terwujud di sini dan di sana nanti,
dalam ukuran yang telah ditentukan-Nya.
Inilah satu sisi dari
perbuatan-Nya terhadap apa yang dikehendaki-Nya, yang sesuai dengan
peristiwa yang terjadi. Juga sesuai dengan apa yang akan disebutkan
berikut ini mengenai Firaun dan kaum Tsamud. Namun, tetaplah kehendak
dan kekuasaan yang mutlak di belakang peristiwa-peristiwa ini dan di
belakang kehidupan ini, sedangkan alam semesta melakukan aktivitasnya
dalam dunia wujud ini.
Dia Mahakuasa berbuat apa yang
dikehendaki-Nya. Di sana sebuah contoh dari kemahakuasaan-Nya berbuat
terhadap apa yang dikehendaki-Nya itu.
Sedangkan berita kaum
Tsamud, maka Allah telah membinasakan mereka karena membunuh anak unta
bapak mereka, Nabi Shalih. Diselamatkan-Nya nabi Shalih dan segolongan
minoritas yang ikut bersamanya, yang sesudah peristiwa itu mereka tidak
lagi memiliki raja dan kekuasaan. Jadi, mereka hanya semata-mata
diselamatkan dari kaum yang fasik.
Ini adalah dua buah contoh
tentang berlakunya iradah Allah dan berjalannya kehendak Nya. Ini juga
merupakan dua buah gambaran dari gambaran-gambaran dakwah kepada agama
Allah dengan segala konsekuensinya, di samping terjadinya kemungkinan
ketiga seperti peristiwa pant itu. Semuanya ditampilkan oleh Al-Qur’an
kepada golongan minoritas mukmin di Mekah, dan kepada semua generasi
orang-orang yang beriman.
– Selesai
Posting Komentar