Sejarah Perkembangan Fiqih Islam
Rasulullah
SAW semasa hidupnya menjadi referensi setiap muslim untuk mengetahui
hukum agamanya. Baik hukum itu diambil dari Al Qur’an maupun dari
Sunnahnya; yang mencakup: Perbuatannya, ucapannya, dan ketetapannya.
Hukum yang Rasulullah perintahkan adalah hukum Allah yang bersifat
qath’iy meskipun berbentuk pemahaman terhadap ayat Al Qur’an atau
tafsirnya. Karena peran Rasulullah adalah menjelaskan Al Qur’an. Firman
Allah: “…Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl: 44), akan
tetapi para sahabat tidak selalu dekat dengan Rasulullah sehingga setiap
saat bias bertanya kepadanya tentang hukum agama yang muncul, sebab di
antara para sahabat ada yang musafir, mukim di negeri yang jauh. Maka
apa yang bisa mereka lakukan jika ada masalah.
Para sahabat berijtihad sebatas kemampuan dan pengetahuan mereka
tentang hukum-hukum Islam dari prinsip-prinsip Islam yang bersifat umum.
Sehingga ketika berjumpa dengan Rasulullah saw, mereka bertanya tentang
apa yang dihadapi. Kemungkinan Rasulullah mengiyakan ijtihad mereka,
atau meluruskan jika ada kesalahan, tetapi Rasulullah tidak pernah
sekalipun menolak prinsip ijtihad mereka. Seperti hadits Ammar bin Yasir
RA berkata: Rasulullah mengutusku melaksanakan satu tugas, lalu saya
junub dan tidak menemukan air. Kemudian aku berguling-guling di tanah
seperti hewan. Kemudian aku menemui Nabi dan aku ceritakan hal ini, lalu
bersabda: Sesungguhnya sudah cukup bagimu dengan kedua tanganmu, lalu
Nabi memukulkan tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian
mengusapkan yang kiri pada tangan kanan, punggung tangan dan wajahnya.
HR Asy Syaikhani dengan redaksi Muslim.
Kadang sekelompok sahabat
berbeda ijtihadnya sehingga ketika masalah itu disampaikan kepada
Rasulullah saw, menetapkan ijtihad yang benar dan menjelaskan kesalahan
yang salah. Pernah juga menerima dua ijtihad yang bertentangan,
sebagaimana ketika memerintahkan kaum muslimin untuk berangkat ke Bani
Quraidhah dengan bersabda: “Janganlah ada seseorang yang shalat Ashar
kecuali di Bani Quraidhah. [1]
Kaum
muslimin segera berangkat, dan waktu Ashar hampir habis sebelum mereka
sampai di Bani Quraidhah. Ada sebagian yang berijtihad dan shalat di
jalan sehingga tidak ketinggalan waktu Ashar. Mereka mengatakan bahwa
Rasulullah saw tidak menghendaki kita untuk mengakhirkan shalat Ashar
lewat waktunya. Dan yang lainnya berijtihad dengan tidak shalat Ashar
sehingga sampai di Bani Quraidhah sesuai dengan perintah Nabi, sehingga
mereka shalat Ashar setelah Isya’. Maka ketika hal ini sampai kepada
Nabi, Nabi tidak mengingkari kedua kelompok ini. Ini menunjukkan
kemungkinan multi kebenaran hukum syar’i untuk satu masalah hukum.
2. Sejak Wafat Nabi Sampai Wafatnya Empat Imam Mazhab
Setelah
Rasulullah saw wafat dan wilayah-wilayah baru Islam sangat luas.
Mulailah kebutuhan ijtihad para sahabat meningkat tajam. Hal ini
disebabkan oleh dua hal:
- Masuknya Islam ke masyarakat baru membuat Islam berhadapan dengan problema yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw, tidak ada wahyu yang turun, dan terdapat keharusan untuk mengetahui hukum agama dan penjelasannya.
- Seorang sahabat Nabi tidak mengetahui keseluruhan sunnah Nabi. Karena Rasulullah saw menyampaikan atau mempraktekkan satu hukum syar’i di hadapan sebagian sahabat, atau bahkan di hadapan satu orang sahabat saja, tidak diliput oleh keseluruhan sahabat. Hal ini mendorong sebagian sahabat berijtihad dalam masalah yang tidak diketahuinya dari Rasulullah saw, pada saat yang sama mungkin sahabat lain menerima langsung hukum syar’i ini dari Rasulullah.
Jarak antara para sahabat yang berjauhan setelah
wafat Umar bin Al Khaththab RA terbukalah ruang tampilnya dua madrasah
yang berbeda dalam menggali fiqih:
- Madrasatul Hadits di Hijaz, disebut demikian karena kebanyakan mereka berpegang kepada riwayat hadits. Hijaz adalah lahan Islam pertama. Setiap penduduknya kadang memiliki satu hadits atau lebih. Sebagaimana tabiat dan problem masyarakat yang tidak mengalami banyak perubahan, sehingga tidak memerlukan ijtihad.
- Madrasatur-ra’yi di Kufah. Disebut demikian karena banyak menggunakan akal dalam mengenali hukum-hukum syar’i. Hal ini terpulang kepada sedikitnya hadits akibat sedikitnya sahabat di sana, dan karena banyaknya problema baru dalam masyarakat baru yang tidak ada dasarnya sama sekali.
Pada awalnya
perbedaan antara dua madrasah itu sangat tajam, hanya saja kemudian
semakin menyempit bersama dengan perkembangan waktu, khususnya setelah
pembukuan buku-buku hadits. Ditambah oleh keseriusan para ulama untuk
menyaring dan menjelaskan mana yang shahih, dhaif/lemah, dan palsu,
sehingga tidak banyak membutuhkan pendapat kecuali ketika tidak ada nash
untuk satu masalah yang timbul. Adapun berijtihad dalam alur nash itu
sendiri sudah ada di madrasatul hadits sebagaimana terdapat di
madrasaturra’yi.
Pada fase inilah terjadi perkembangan fiqih yang
sangat besar, dan menjadi satu ilmu tersendiri, dengan menampilkan
ulama-ulama besar, yang terkenal adalah ulama empat mazhab, yaitu:
- Abu Hanifah, An Nu’man bin Tsabit (80-150 H) dikenal dengan sebutan al imam al a’zham (ulama besar), berasal dari Persia. Pemegang kepemimpinan ahlurra’yi, pencetus pemikiran istihsan (menganggap baik sesuatu), dan menjadikannya sebagai salah satu sumber hukum Islam. Kepadanyalah mazhab Hanafi dinisbatkan.
- Malik bin Anas Al Ashbahi (93-179 H) Dialah imam ahli Madinah, menggabungnya antara hadits dan pemikiran dalam fiqihnya. Dialah pencetus istilah Al Mashalih al Mursalah (kebaikan yang tidak disebutkan dalam teks) dan menjadikannya sebagai sumber hukum Islam. Kepadanyalah mazhab Maliki dinisbatkan.
- Muhammad bin Idris Asy Syafi’i Al Qurasyi (150-204 H) Mazhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits, meskipun ia banyak mengambil ilmu dari pengikut Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Kepadanyalah mazhab Syafi’i dinisbatkan
- Ahmad bin Hanbal Asy Syaibaniy (164-241 H) Dia adalah murid imam Syafi’i, dan mazhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits
Dan
kenyataannya sebelum munculnya para imam ini, bersama dan sesudah
mereka itu terdapat ulama-ulama besar yang tidak kalah perannya terutama
ulama di kalangan sahabat, seperti Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn
Abbas, Abdullah ibn Umar dan Zaid bin Tsabit. Demikian juga ulama di
masa tabi’in seperti Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, Ibrahim an
Nakha’iy, Al Hasan AL Bashriy, Mak-hul dan Thawus. Kemudian para gurunya
empat imam mazhab itu, dan ulama semasanya seperti Imam Ja’far Ash
Shadiq, Al Auza’iy, Ibnu Syubrumah, Al Laits bin Sa’d, dll.
Akan
tetapi empat imam mazhab itu memiliki para pengikut yang merangkum
pendapatnya, merapikannya, menjelaskannya, atau meringkasnya untuk
disajikan dengan mudah kepada kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin
dapat memperoleh apa saja yang membantunya memahami hukum Islam dengan
tersusun rapi. Kemudian diajarkan di masjid-masjid beberapa tahun.
Demikianlah sehingga menjadi pondasi bagi kehidupan kaum muslimin,
membuatnya sudah cukup sehingga mereka tidak perlu merujuk kepada
buku-buku tafsir, atau hadits untuk mengetahui hukum Islam. Karena telah
disajikan dengan metode mazhab fiqih yang instant.
3. Sejak Wafatnya Empat Imam Mazhab Sampai Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah
Kaum
muslimin menerima empat mazhab ini dengan talaqqi, dan menjadikannya
sebagai pegangan fiqih Islam. Para ulama mempelajari dan mengajarkannya.
Mulailah fiqih menyebar luas dari terapi masalah sampai pada analisa
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Kajian-kajian fiqih tersebar
luas, dan mulai muncul fanatic mazhab yang menjadikan pengikut suatu
mazhab menganggap dirinyalah yang Islam, dari yang semula hanya
merupakan hukum dan pendapat yang berkembang dalam batas-batas ajaran
Islam yang luas. Kemudian para ulama empat mazhab itu mengeluarkan fatwa
tentang tertutupnya pintu ijtihad, sehingga orang-orang yang tidak
berkompeten tidak masuk ke wilayah ini, lalu diikuti oleh orang-orang
awam sehingga umat Islam berada dalam gelombang ketidakpastian yang
mendelet apa yang sudah dibangun oleh para ulama besar sebelumnya.
Demikianlah
sehingga berubah kepada taqlid. Para ulama mengarahkan usahanya untuk
mencari dalil atas pendapat-pendapat mazhab, berijtihad di dalam mazhab,
mentarjih antara pendapat yang berbeda-beda dalam satu mazhab. Jadilah
fiqih berputar dalam dirinya sendiri. Seorang ulama fiqih mensyarah
(menjelaskan) kitab fiqih imam sebelumnya dengan penjelasan rinci
berjilid-jilid besar, lalu datang ulama berikutnya yang meringkasnya,
kemudian ada yang memberikan ta’liq (catatan) atas ringkasan itu untuk
menguraikan sebagian ketidakjelasan, lalu ada yang menulis hasyiyah
(catatan pinggir)nya, kemudian ada yang kembali menguraikannya dengan
detail. Demikianlah fiqih mengalami kejumudan untuk menguraikan realitas
yang ada. Terjadi pembengkakan kajian masalah ibadah sementara
masalah-masalah politik Islam, masalah mu’amalat. Sehingga ketika
terjadi serangan Barat terhadap negeri Islam pada akhir abad sembilan
belas ditemukan banyak sekali orang-orang yang sudah kalah jiwanya, lalu
menerima banyak sekali pikiran Barat yang bertentangan dengan syari’at
Islam dan menanggalkan atribut ke-Islam-an. Sehingga ada seorang tokoh
yang berfatwa memperbolehkan uang riba untuk memberi makan anak-anak
yatim, mengesahkan aturan yang menyamakan hak laki-laki dan wanita dalam
memperoleh harta warisan.
Buah dari fanatik mazhab adalah kejumudan fiqih yang melatarbelakangi runtuhnya khilafah Utsmaniyah.
Pada
masa itu memang ada ulama yang menyerukan untuk menolak taqlid. Banyak
juga di antara ulama mazhab yang berijtihad dan berbeda dengan pendapat
mazhabnya, dengan mentarjih pendapat mazhab lainnya. Tetapi terpaku
dengan satu mazhab fiqih menjadi cirri menonjol mayoritas umat Islam
saat itu, terutama ketika ada suara dari sebagian pengikut mazhab yang
fanatic melarang pindah ke mazhab lain.
– Bersambung
Posting Komentar