Dalam
kalender Hijriyah, bulan Syawal adalah
bulan yang kesepuluh setelah
bulan Ramadhan. Disini saya tidak akan memaparkan
(mungkin ada) polemik sekitar makna Syawal itu sendiri, karena bukan kapasitas
saya. Namun saya akan memaparkan tentang pendapat saya seputar keharusan kita
sebagai Hamba Alloh SWT seusai menunaikan Shoum Ramadhan, dengan ilmu, maroji’ yang saya peroleh.
Di bulan
Syawal ini, yang lebih tepat dengan pendapat saya adalah seusai kita berpuasa
di bulan Ramadhan yang lalu, tentu kita memahami benar bahwa tujuan kita berpuasa di bulan Ramadhan
adalah capaian maksimal dalam ketaqwaan
kita kepada ALLOH Azza Wajalla. Dan seusai Ramadhan tentu jika
capaikan tersebut berhasil tentu mampu meningginya
derajat kita. Tentu hal ini berdasar
pada Sabda Rosul Saw, jika kita ikhlas dalam menunaikan shaum Ramadhan maka jaza’ yang akan kita peroleh adalah mendapatkan
maghfiroh dari Allah.
“Barangsiapa
berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan tulus karena Allah, maka
dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dengan dasar keyakinan dan ekspektasi tersebut, tentu kita tidak
semestinya, menyia-nyiakan
perjuangan kita selama bulan
Ramadhan yang lalu, dengan hanya
bersantai ria. Contoh,Ramadhan yang lalu kita rajin meramaikan (baca, memakmurkan)
masjid dengan ragam kegiatan keagamaan, sosio-kultural, keremajaan, dll. Namun
seusai Ramadhan, malah seakan “menjauh” dari masjid. Masjid layaknya sudah
menjadi tempat yang sepi, jarang dirambah manusia saja. Belum lagi aktifitas
(amal) kebaikan kita yang lain. Inikan ironi, jika benar-bernar terjadi !.
Sebulan penuh (Ramadhan) kita ditempa, digembleng, bak orang tua
kita bilang, Puasa sebagai kawah candradimuka, sarana penguatan diri
kita, jasadiyah, fikriyah, qalbiyah, dan amaliyah. Eee ketika usai Ramadhan
kok, mudah sekali semua itu dilupakan (tidak dilakukan). Inikan eman-eman (sayang) !.
Semua perbuatan kita yang tidak berguna/manfaat atau bahkan
melalaikan, harus kita buang jauh-jauh, terlebih yang dilarang ALLOH SWT, terbersit/terfikirkan
saja tidak apalagi dilirik dan dilakukan. Tentunya, ini semua kita lakukan untuk
mencapai bukti peningkatan keislaman kita. Rosululloh Saw bersabda : Dari Abu
Hurairah, ia berkata, “Rasulullah pernah bersabda: “Sebagian tanda dari baiknya
keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.”
(HR. at-Tirmidzi dan lainnya).
Usai Ramadhan seharusnya momentum kita untuk pembuktian ketaqwaan,
ketaatan dan kepekaan kita, bahkan sampai hadirnya kembali bulan Mulia,
Ramadhan.
Dan bulan Syawal, adalah bulan yang memang bulan (waktu) yang kaitan langsung dengan
Ramadhan, Mengapa demikian ? menurut saya, karena selesai Ramadhan langsung
masuk Syawal, tentu ini beririsan langsung, berbeda jika waktunya ada jeda
(interval satu bulan dsb). Selanjutnya hasil nyata, pembuktian hasil perjuangan
selama Ramadhan adalah waktu-waktu setelahnya, yakni Syawal. Dan logis juga
jika di Syawal ini banyak kita yang tetap berupaya menguatkan kebaikan, sebagai
kelanjutan (istimroriyah) tarbiyah di
bulan Ramadhan.
Tentu, istimror-nya amalan kita bermakna pula
peningkatan, dan masing-masing kita juga tentu mampu menakar dengan parameter
amalan/kwalitas kita sebelum Ramadhan. Jika kita saat ini, Syawal, ternyata
bersikap lebih baik, amalan lebih baik dan kwantitaspun juga lebih, maka makna
penggemblengan kita dan kelanjutan amal kita di Syawal ini tercapai. Dan ini
belum cukup, bagi kita yang benar-benar dan yakin, kehati-hatian kita (Taqwa) tentu
membutuhkan komitmen atau keistiqomahan agar tetap pada trackrecord positive
hari ini lebih baik dari kemarin dan esok lebih baik dari hari ini (Tarbiyah
Ramadhan). Ketika istimror dalam
ibadah dan amal solih sekalipun diluar Romadhon, maka indikator istiqomah pun telah
kita upayakan.
Puasa Sunah 6 hari di bulan Syawal
“Barang siapa telah berpuasa di Bulan Ramadhan, kemudian
diikuti dengan enam hari dari Bulan Syawal (puasa), maka ia adalah seperti
(pahala) puasa ad-Dahr (setahun)” HR Bukhari, no
6502.
Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari diatas, menjadi spirit kita untuk meningkatkan (tarkiyah) amal ibadah kita. Terutama perihal shoum.
Perihal shoum, tentu kita harus menguatkan prinsip bahwa tak
peduli apakah bulan Ramadhan atau bukan, semua aktifitas ibadah harus tetap kita
lakukan, hanya saja memang di bulan Ramadhan ada keistimewaan dengan akan dilipat
gandakan semua amal ibadah kita. Termasuk berpuasa. sebagaimana dalam Hadits
Qudsi, Allah berfirman: “Setiap amal perbuatan anak Adam yang berupa kebaikan akan
dilipatgandakan pahalanya dengan sepuluh kali sehingga tujuh ratus kali lipat.
Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan
memberikan balasannya” (HR. Muslim)
Mengenai
adanya pendapat (dari beberapa sumber), tentang “seperti (pahala)puasa Ad-Dahr (setahun), yakni memaknai hadits diatas
secara matematis,yakni jika diselaraskan dengan
hadits, setiap kebaikan akan bernilai 10 kebaikan, maka bisa kita kalkulasikan,
Puasa Ramadhan
adalah 30 hari ((1 bulan) x 10 = 10 bulan) + (6 hari Syawal x 10 = 60 hari (2
bulan). Jadi 10 bulan + 2 bulan = 12 bulan (1 tahun)).
Memang, hal
diatas baru semacam persepsi secara matematis, dan tentunya kita menyakini
bersama bahwa kebaikan (pahala) ALLOH atas perbuatan amal sholeh hamba-NYA bisa
melebihi dari hitungan diatas. Dan inilah expektasi besar kita tentang balasan
ALLOH SWT terhadap hamba-NYA yang rajin beramal sholeh.
Syawal dalam Perspektif Rumah Tangga
Bagi kita
yang sudah membina rumah tangga, tentu makna seusai Ramadhan-pun harus menjadi
momentum refleksi bersama pasangan untuk meningkatkan kwalitas keluarga semakin KOKOH. Kokoh dalam hal interaksi suami istri,
kokoh dalam hal pendidikan keluarga (terhadap pasangan dan anak), kokoh dalam
hal ekonomi keluarga dan terpenting kwalitas dan kwantitas amal kepada ALLOH
dan lingkungan.
Banyak
diantara kita, momentum Ramadhan yang lalu punya arti tersendiri bagi kita
dalam hal Tarbiyah Keluarga. Apalagi yang sudah dikarunai keturunan, Ramadhan
sebagai sarana pendidikan efektif dan
cukup waktu, sebulan penuh, berinteraksi dengan amalan amalan yang sarat
akan penanaman karakter (syakhsiyah
islamiyah).
Tentu,
usai Ramadhan, Keluarga kita mempunyai berbagai macam cerita yang selalu
kita
kenang, sebagai pengalaman dalam keluarga. Bagi buah hati, meski masih
belia,
dan belum mampu shoum sehari penuh, dan sholat penuh, kemasjid, namun
tentu ekspresi dan cerita selama Ramadhan itu ia sampaikan ke
kita (ayah bunda) dengan penuh ceria.
Betapa
tidak, mereka kita latih (juga oleh ustadzah mereka) untuk “berpuasa” sampai
jam 9/10 pagi (dari subuh tidak makan nasi/snack, yah klo agak kasihan cukup
diberi minum saja). Dan ‘puasa” mereka tetap dilanjutkan, meski hanya interval
2/3/4 jam. Yang jelas, penanaman vealue karakter,” agar ALLOH sayang kita“
tetap kita upayakan.
Boleh
jadi, banyak diantara kita juga sudah banyak yang melatih buah hati kita
berpuasa setengah hari bahkan satu hari. Bagi saya, yang sangat fundamen adalah
penanaman karakter ilahiyah tersebut
secara dialogis dan menghindari pemaksaan. Karena mereka (buah hati) masih akan
menjalani waktu lebih panjang dari kita (ayah bunda), insya’ALLOH.
*) Oleh :
Dhanie Asy-syakib
Posting Komentar