Hukum Syar’i ada dua macam, yaitu:
1. QATH’IY, yaitu sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah dengan kesimpulan yang qath’iy/pasti: seperti:
- Kewajiban shalat, dari firman Allah: . وأقيموا الصلاة .
- Kewajiban puasa, dari firman Allah: فمن شهد منكم الشهر فليصمه
- Kewajiban zakat, dari firman Allah: . . وآتوا الزكاة .
- Kewajiban haji, dari firman Allah: . ولله على الناس حج البيت
- Larangan riba, dari firman Allah: . وذروا ما بقي من الربا
- Larangan zina dari firman Allah: . . ولا تقربوا الزنا .
- Larangan khamr, dari firman Allah: . . فاجتنبوه لعلكم تفلحون
- Kedudukan niat, karena sabda Nabi: . إنما الأعمال بالنيات .
- Hukum syar’i yang bersifat qath’iy ini tidak ada peluang khilaf/beda
pendapat di antara kaum muslimin di level: ulama, mazhab, dan umat
secara umum. Sebab semua itu adalah hukum-hukum agama yang secara
aksiomatis diterima sebagai dharuriyyat/kepastian. Dan jumlahnya
relative lebih kecil dibandingkan dengan hukum syar’i yang zhanniy.
2. ZHANNIY, meliputi:
Sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh Al Qur’an dan Sunnah dengan kesimpulan zhanniy/hipotesa.
Sekumpulan
hukum yang digali oleh para ulama dari sumber-sumber syar’i yang lain
dengan berijtihad. Di antara contoh bagian pertama adalah:
- Besaran
usapan kepala yang wajib dilakukan dalam berwudhu, seluruh kepala
menurut Imam Malik dan Ahmad, cukup sebagiannya menurut Abu Hanifah dan
Asy Syafi’iy. Hal ini karena huruf “BA” dalam firman Allah: وامسحوا
برؤوسكم dapat dipahami dengan berbagai pemahaman, dan tidak terbatas
pada satu makna.
- Jarak perjalanan musafir yang memperbolehkan
berbuka bagi orang yang berpuasa, dan mengqashar shalat. Empat pos
menurut mazhab Malikiy, Syafi’iy dan Hanbali, sekitar 90 km. karena
hadits Al Bukhari: Bahwasanya Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud RA keduanya
mengqashar shalat dan berbuka pada jarak empat pos. Menurut mazhab
Hanafi jaraknya adalah perjalanan tiga hari, (sekitar 82 sampai 85 km)
karena hadits Al Bukhari: Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, melakukan perjalanan sejauh tiga hari tanpa
disertai mahram.
Dan jelas sekali, bahwa pengambilan kesimpulan dari hadits di atas bersifat zhanniy/hipotesis.
Di antara contoh jenis kedua adalah:
- Istri
orang yang hilang yang tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah
mati. Ijtihadnya mazhab Hanafi dan Syafi’i memutuskan bahwa wanita itu
menunggu sehingga orang-orang yang sebaya dengan suaminya itu mati,
sehingga dapat menyimpulkan bahwa suaminya sudah mati, dan ketika itu
baru diputuskan berakhirnya status suami istri dan diperbolehkan menikah
dengan orang lain. Dalilnya adalah bahwa orang yang hilang itu semula
dalam keadaan hidup. Dan prinsipnya ia masih hidup sehingga ada dalil
kematiannya. Ini adalah dalil ijtihadiy yang bersifat zhanniy. Sedangkan
dalam ijtihadnya mazhab Malikiy, dapat diputuskan berakhirnya status
suami istri antara suami yang hilang, sesuai dengan permintaan istri
setelah lewat masa empat tahun hilang dalam keadaan damai (bukan perang)
dan satu tahun dalam keadaan perang. Dalilnya adalah menjaga maslahat
istri dan mencegah hal-hal buruk baginya, menghindari kerugian yang
timbul dengan mempertahankannya dalam keadaan tergantung. Hal ini juga
bersifat ijtihadiy dan zhanniy.
– Bersambung
Posting Komentar